Jumat, 27 November 2009

Sejarah Singkat Objek Wisata Panjalu Ciamis

Panjalu adalah salah satu kota kecamatan di wilayah utara Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Dalam statusnya itu peranan yang sangat menonjol adalah sebagai Kota Daerah Wisata yang sekaligus baik Wisata Alam, Wisata Budaya maupun sebagai Wisata Ziarah. Mendukung perananya itu Pemerintah Propinsi Jawa Barat, pada tanggal 17 Maret 2004 mengukuhkan Panjalu sebagai Desa Wisata.

Kota ini terletak sekitar 35 Km sebelah utara Kota Ciamis atau sekitar 15 km sebelah barat kota Kawali, berbatasan dengan sebelah utara wilayah Talaga Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan, suatu lingkup wilayah komunitas yang dulu dikenal sebagai Daerah Pusat Kerajaan Galuh.

Wilayah Panjalu berupa daerh perbukitan yang subur, di lerenga utara gunung Syawal dengan ketinggian 700 meter diatas permukaan air laut. Di sebalah barat laut dan utara daerah ini juga berupa perbukitan subur, lereng gunung Bitung, gunung Cendana, dan gunung Cakrabuana, dimana sungai Citanduy berasal, sehingga secara menyeluruh wilayah Panjalu merupakan dataran perbukitan yang diapit gunung-gunung sekitarnya.

Temuan-temuan data kepurbakalaan, nilai-nilai sosio kultural serta jejak-jejak kesejarahan lainnya yang kini masih terlestarikan memberikan petunjuk tentang masa lalu kota itu. sebagai kota kerajaan kuni yang dikenal sebagai kerajaan Soko Galuh Panjalu. Ibu kota Kerajaan itu dibangun pada areal suatu Danau (situ) seluas 70 hektar yang kini disebut Siti Lengkong, terletak di sepanjang tepi Utara Kota Panjalu, sekarang terdapat tiga buah nusa (Pulau Kecil). Pada situ tersebut yang masing-masing digunakan sebagai tempat bangunan Istana Kerajaan, Kepatihan, dan Staf Kerajaan dan sebagai taman rekreasi. Pendiri ibu kota kerajaan ini adalah tokoh Karismatik Leluhur Panjalu bernama Prabu Sanghyang Borosngora raja Panjalu Islam pertama.

Wisatawan yang datang ke Panjalu pada umumnya adalah para Penziarah mengungjungi Tokoh Raja Panjalu, teristimewa pemakaman Prabu Hariang Kancana di Nusa Gede, Situ Lengkong (Situs istana Kerajaan) serta danau itu sendiri yang bernuansa religius, disamping itu mengunjungi Musium Bumi Alit, dimana disimpan benda-benda peninggalan bersejarah seperti Menhir, Batu Pengsucian, Batu Penobatan, Naskah-naskah dan benda-benda perkakas peninggalan milik rajas-raja dan bupati Panjalu masa lalu, terutama perkakas yang disebut benda Pusaka Panjalu yang berupa Pedang, Ciss dan Genta (lonceng kecil), peninggalan/milik Prabu Sanghyang Borosngora.

Benda pusaka ini pada setiap bulan Maulud (Hari Senin/Kamis akhir bulan) digelar dalam suatu upacara perawatan yang disebut Nyangku. Pagelaran upacara sakral Nyangku ini dilakukan masyarakat keluarga besar wargi Panjalu, baik yang ada di lingkungan setempat maupun mereka yang berada di kota-kota dan daerah-daerah di luar Panjalu termasuk para penziarah yang berasal dari berbagai tempat di Pulau Jawa, maupun luar pulau Jawa, sehingga rata-rata puluhan ribu masyarakat hadir berpartisifasi dalam acara budaya tradisional tersebut.

Untuk memaknai lebih lanjut, ikhwal daerah wisata ini terdapat beberapa pengertian yang terkadang dalam istilah (nama diri) Panjalu pemaknaa ini bukan hanya berasal dari sudut pandang intern warga Panjalu itu sendiri melainkan pula terkandung dalam sudut panjang luar Panjalu

Dalam pengertian geografis, jelas Panjalu sebagai tempat dengan ciri-ciri alam lingkungannya termasuk data-data demografis yang terkandung didalamnya. Dalam pengertian administrasi politis, Panjalu di masukkan sebagai nama suatu organisasi kelembagaa politik dan pemerintahan, ini berstatus sebagai Kecamatan dan sebagai nama desa (Panjalu).

Beberapa sumber keterangan mengungkapkan Panjalu masa lalu sebagai sebuah kerajaa kemudian sebagai kabupaten di bawah Kesultanan Cirebon dan kemudian berubah sebagai Distrik (Kewedanaan).

SUMBER-SUMBER SEJARAH PANJALU
Upaya mengungkap sejarah Panjalu disamping merupakan tuntunan warga Panjalu untuk memahami nilai-nilai kehidupan masa lalunya juga merupakan tuntunan warga Indonesia khususnya masyarakat tatar Sunda, dalam memahami identitas dirinya sebagai warga masyarakat. Memahami identitas jati diri merupakan langkah mendasar dalam melakoni tuntuta perubahan jaman yang makin komples dan globalistis.

Salah satu masalah yang dihadapi para peneliti adalah minimnya data-data histories, khususnya sumber-sumber primer tertulis sebagai dasar analisis pengetahuan ilmiah. Sumber-sumber yang ditemukan terbatas berupa data-data non tulisan, serta sumber-sumber sekunder, antara lain yang berupa naskah-naskah yang ditulis masa-masa kemudian serta tradisi-tradisi lisan turun temurun yang dikoleksi tokoh-tokoh terbatas.

Usaha penelusuran yang dilakukan sementara berpegang pada sumber keterangan diatas, dilengkapi dengan analisiss nilai-nilai Sosio Kultural yang masuk terlestarikan. Penelusuran ditekankan pada kebermaknaan nilai-nilai Sosio Kultural dalam proses perubahan dari masa ke masa hingga sekarang. Sasaran yang dituju adalah penelusuran yang mengandung makna edukatif dan sebagai saran introspeksi diri memahami jati dirinya sendiri.

Disamping situs-situs bersejarah seperti pemakaman Raja, Bupati dan Pertapaan, jejak-jejak non tulisan juga ditemukan seperti Menhir, Batu Tapak Kaki, Batu Bekas bangunan, Batu Penobatan Raja, Mata Uang Cina, Bokos mas serta benda-benda perkakas peninggalan para raja dan bupati Panjalu masa lalu terutama Pedang milik Prabu Sanghyang Borosngora,. Pada pedang tersebut terdapat tulisan yang diantara bertuliskan “ La Falla Illa Ali Ya Ali Karomallahu Wajnahu” (inilah Pedang milik Syayidina Ali Kharimallahu Wajnahu)

Sumber tertulis sebagai bahan perbandingan adalah prasasti Astana Gede Kawali 15 Km sebelah timur Panjalu, yang menyebut nama Raja Wastu Rahiang Niskala Wastu Kancana) dan yang isinya memuat kalimat Ayama Nupandeuris, Pakena Gawe Rahayu (Prasasti I) serta juga tertulis Pakena Kereta Bener (Prasasti II) sebagai ungkapan yang relavan dengan apa yang menjadi Papagon Karahayuan di Panjalu.

Di Cipanjalu juga terdapat Prasasti Batu-batu tulis yang kini telah hilang, mungkin tertimbun tanah. Isi Prasasti mencatat bubarnya Kerajaan Panjalu pada tahun 1200 Masehi.
Naskah babad yang ditemuka ada 2(dua) :

Pertama karya R. Demang Pradjadinata, Putra Dalem Cakranagara III Bupati Panjalu terakhir, berjudul “Babas Panjalu” naskah yang berbentuk Pupuh itu (524 bait) salinannya dikoleksi CM Pleyte tahun 1905. kini tersimpan di Museum Jakarta

Kedua adalah karya R. Nitidipradja berjudul Serat Carios Babad Situ Lengkong Panjalu, naskah berbentuk Pupuh terdiri dari 239 bait, salinansnya kini dikoleksi keluarga Wargi Panjalu. Naskah lainnya adalah Sejarah Maung Panjalu dan Pepeling ka Putra-putra Panjalu
Sumber-sumber tradisi lisan dapat diperoleh dari keturunan-keturunan langsung pada penguasa (Raja, Bupati Panjalu) dari putra-putra keluarga Panjalu itu juga dapat ditemukan catatan silsilah Raja, Bupati Panjalu sebagai leluhurnya.

IKHTISAN SEJARAH

a. Panjalu Zaman Kuno

Sejak zaman purba, masa-masa awal pengaruh Hindu, di Panjalu telah berdiri suatu kerajaan dengan pusat pemerintahan di Karantenan, suatu dataran di lereng Gunung Syawal, sekitar 7 km arah selatan Kota Panjalu sekarang. Pendiri kerajaan ini adalah tokoh leluhur Panjalu bernama Prabu Batara Tisnajati, beliau dikenal sebagai seorang raja yang berilmu tinggi, mengajarkan “Sajatining Hirup” dan “Sajatining Manusa” mengupas tentang hakikat manusia dan alam lingkungan serta bagaimana manusia harus hidup di dunia ini berdasarkan jati dirinya itu. pada awal pendiriansnya Kerajaan Karantenan telah bersifat Padepokan (perguruan) tempat orang menuntut ilmu dan syiar keagamaan yang diajarkan oleh Prabu Batara Tisnajati dan sebagai pusat kegiatan politis.

Sepeninggal Prabu Batara Tisnajati dikenal beberapa tokoh terkemuka penguasa kerajaan ini seperti : Batara Raya, Karimun Putih, Marangga Sakti, hingga kemudian Prabu Rangga Gumilang.
Dalam pada itu di Gunung Bitung bertahta Ratu Galuh Pusaka bernama Prabu Sanghyang Cipta Permana Dewa, Raja Galuh Nyakrawati Ing Nusa Jawa. Beliau memiliki tiga orang anak, ketiganya lahir di Ciriung Cipanjalu, salah satu putri dan dua orang putra yaitu :

“Sanghyang Ratu Permanadewi, Sanghyang Ponggang, Sang Rumanghyang dan Sanghyang Bleg Tambleg Raja Gulingan”. Ketiganya memiliki ilmu (ajaran) yang berbeda serta sepakat untuk mengembangkan ajaran-ajaran yang dimilikinya itu, khusus di wilayah Kerajaan Galuh.

Ratu Ponggang Rumaghyang dengan Aji (ilmu) kadugalan dan kawedukan (kesaktian) pergi ke Telaga. Bleg Tambleg Raja Gulingan dengan aji (ilmu) keduniawian(materialistis) berangkat menuju Kuningan, sedangkan Sanghyang Ratu Permanadewi dengan membawa aji (ilmu) kerahayuan tinggal di Panjalu.

Di Panjalu, Ratu Permanadewi diperistri oleh Prabu Rangga Gumilang, pemegang tahta Kerajaan Panjalu lama di Karantenan Gunung Syawal. Dengan hubungan perkawinan itu, bertemulah nilai-nilai ajaran Galih Pusaka dengan nilai-nilai ajaran Panjalu lama yang dirintis Prabu Barata Trisnajati diatas.

Bersama Prabu Rangga Gumilang, Ratu Permanadewi kemudian memindahkan ibu kota kerajaanya dari Karatenan (Batu Datar Gunung Syawal) ke Citatah Dayeuh Luhur Panjalu 5 Km arah utara Kota Panjalu sekarang. Pemindahan ibu kota kerajaan tersebut didasarkan atas pertimbangan untuk mengembangkan kerajaan, termasuk upaya dalam menjalin kerjasama luar seperti dengan Telaga, Kuningan, Cirebon, Kawali dan Bojong Ciamis.

Bersama dengan pemindahan Ibu kota Kerajaan Panjalu diatas mulailah ratu Permanadewi merintis dan membangun tatanan Kerajaan baru dengan meletakkan dasar-dasar kerahayuan sebagai pedoman hidup warga dan filsafat kerajaan. Kerajaan inilah yang kemudian dinamakan kerajaan Soko Galuh Panjalu. Dengan ibukota kerajaan ini adalah Dayeuh Luhur, terletak di dataran tinggi diatas Kota Panjalu sekarang.

Dikenal 3 (tiga) bagian Kerajaan Galuh yakni Soko Galuh Panjalu (Panjalu Kawali), Galuh Tengah (Bojong Ciamis) dan Sirah Galuh (Bagalo, Kalipucang, Ciamis Selatan)

Identitas Ratu Permanadewi dengan ajaran Karahayuan itu, antara lain tertulis pada Prasasti Wangsit Sanghyang Ratu Permanadewi di Nusa Gede Situ Lengkong Panjalu. Pada prasasti Wangsit tersebut tertulis :
“SING HIRUP HAYODYANING GUSTI”
SAMAWING HANUNG RARATU PRAMANADEWI
SANG NUNGGAL SUMARA BUMI KAWIWITAN
PUTRA GALIH BAGJA HAMUYUT NUKA SING SIRAH
MAKALIUNG HANURATA CUNGCURAP LARAS CEWANG
KA KABEH HINCU MATAG AJI SAKANING DUNYA TITIS BUMI
PANJALU HANYAKRANING DEWI SUGA, LARAS, MULYA”

Sepeninggal ratu Permanadewi, dan Prabu Rangga Gumilang, ajaran Karahayuan kemudian dikukuhkan menjadi Papagon oleh putranya yang bernama Prabu Sanghyang Sampulur. Raja Panjalu Luhur atau yang kemudian disebut sebagai “Prabu Lembu Sampulur I” sejak itu ajaran Karahayuan juga disebut sebagai akaran Ka-Panjaluan.

Masa keemasan kerajaan diperoleh ketika tahta dipegang oleh putranya Lembu Sampulur I yang bernama Prabu Sanghyang Cakradewa, raja yang terkenal arif bijaksana, teguh melaksanakan Papagon / Ajaran Karahayuan serta memiliki kemampuan membaca tanda-tanda jaman menangkap firasat hal-hal yang bakal terjadi (Weruh sadurung winaras, waspada permana tinggal) sebagai raja linuhung (berilmu tinggi) dan Pinandita (bersifat Wiku) ia berpendirian, bahwa tujuan hidup manusia memperoleh keselamatan dan kesejahteraan hidup yang hakiki (sejati) pula, adalah suatu kewajiban warga Panjalu untuk memiliki ilmu tersebut, bukan hanya untuk dipahami dan diyakini, melainkan harus digunakan dalam kehidupan, ia harus membagi dalam diri dan dilakukan dalam perbuatan (Pakena Gawe Rahayu).

Prabu Sanghyang Cakradewa adalah raja yang menaruh perhatian besar terhadap nasib generasi mendatang supaya mensejahteraan rakyatnya dipandasng sebagai kesejahteraan yang langgeng sepanjang masa, dari generasi ke generasi. Karena itu yang mendambakan tahta kerajaan nanti, dipegang oleh orang yang memiliki ilmu yang berguna bagi kesejahteraan generasi mudsa di kemudian hari.

Dalam upaya melindungi warga dan keutuhan negara dibangun sistem keamanan yang menyatu untuk menghadapi musuh dari luar maupun dari dalam, baik itu musuh yang sifatnya nyata maupun musuh yang bersifat halus. Dalam kaitannya dengan musuh yang halus dikenal peranapa yang disebut Warga Panjalu sebagai Batara Salapan (9 batara) nama dan tempat kedudukannya adalah sebagai berikut :

1. Sri Mangelong, di Kubangan, Rinduwangi
2. Sri Manggulang, di Cipalika Bahara
3. Kebon Pepengel di Muara Cilutung, Ujung Tiwu
4. Sikeukeuh Sacuker Weuleuh, di Ranca Gaul Tengger
5. Lembu Dulur, Di Giut Tenjo Laya
6. Sangbukas Tangan, di Citaman Citatah Sangdingtaman
7. Batara Terus Patala, di Ganjah Ciroke Goak
8. Sang Ratu Lahuta, di Gajah Agung Cilimus Jayagiri
9. Sri Pakentila, di Curug Goong, Maparah

Ditempat yang disebut Cikabuyutan Pameungpeuk Desa Maparah dikenal sebagai musyawarah Batara Salapan

Perhatian utama Prabu Sanghyang Cakradewa pada kesejahteraan rakyatnya yang Hakiki dan Abadi berdasarkan nilai-nilai ajaran Karahayuan (Keselamatan, Kebajikan Hidup) serta perhatian pada kehidupan generasi mendatang, relepan dengan apa yang tercantum dalam prasasti Astana Gede, Kawali (15 km arah Panjalu)

Pada Prasasti tersebut antara lain tertulis “Ayama nu Pandeuri Pakena Gawe Rahayu Pakeun Heubeul Jaya dina Buana” (Semoga generasi kemudian hari berperilaku berbuat kebajikan, agar selamanya memperoleh kejayaan hidup di dunia)
Masalah mendasar dari pandangan dan harapan beliau diatas adalah pemegang tahta kerajaan nanti di masa-masa mendatang, Prabu Cakradewa dikaruniai enam orang anak : tiga orang putra, dan tiga orang puti yaitu :

1. Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II
2. Prabu Sanghyang Borosngora
3. Sanghyang Panji Barani / Kiyai Santang
4. Ratu Mamprang Kancana Artaswayang
5. Ratu Pundut Agung
6. Ratu Anggarunting

Diantara putra-putrinya itu Prabu Borosngora dipandang memiliki bakat dan kepribadian yang layak memegang tahta kerajaan, disadari bahwa imu dan pengalaman putranya itu belum matang, untuk memikul beban dan tanggungjawab sebagai raja, karena itu beliau mengharap calon pewaris / penerima tahta ini dapat membina diri, memiliki ilmu yang bergunas bagi anak cucu generasi mendatang, yakni ilmu yang hakiki (sejati) yang dapat membawa keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat.

Semula Prabu Borosngora diberi tugas ayahnya sebagai Senopati kerajaan yang bertanggungjawab atas keamanan, ketertiban dan keutuhan di wilayah Kerajaasn, tugas tersebut dijalankan Prabu Borosngora dengan baik dan mendapat sanjungan dari berbagai pihak terutama dari kalangan karaton.

Dalam pada itu Prabu Sanghyang Cakradewa terdorong usia lanjut serta keinginan bertapa meninggalkan segala kehidupan duniawi bermaksud turun dari tahta kerajaan. Beliau memanggil Prabu Borosngora serta kemudian memerintahkannya untuk segera berangkat untuk mencari ilmu membina diri sebagai syarat bekal tanggungjawab sebagai rajas. Atas petunjuk dan restu dari ayahnya segera Prabu Borosngora berkemas pergi meninggalkan keraton berkelana mendatangi berbagai perguruan di tatar pulau Jawa.

Dalam menjalankannya ini beliau teringat akan tugasnya saat itu sebagai Senopati kerajaan, beliau berpandangan bahwa untuk keperluan melindungi rakyat dan negara dari berbagai rupas, ancaman musuh harus memiliki ilmu-ilmu kesaktian yang unggul yang disegani lawan dengan dasar pandangan itu ia kemudian mendatangai perguruan-perguruan terkemuka, pendeta-pendeta, linuhung dan resi-resi termasyhur. Selanjutnya beliau membina diri dengan mengkombinasikan ilmu-ilmu tersebut dengan pengembangan potensi dirinya. Hasilkreasi mandiri hingga menyatu sebagai kekuatan tunggal dirinya.

Kemampuan itu ia uji sendiri dengan menjajal siapapun yang dianggap orang paling sakti baik itu ksatria pendekat ataupun para pendata dan para resi diseantero tata Pulau Jawa.
Setelah tak seorangpun para pendekar mampu mengalahkannyas barulah ia merasa puas dan bermaksud pulang ke negeri Panjalu.

Karena diyakininya bahwa apa yang diharapkan ayahnya telah dapat ia penuhi. Kedatangan Prabu Borosngora disambut gembira ayahnya ( Prabu Cakradewa) keluarga dan kerabat keraton dan termasuk para kepentingan-kepentiangn ksatria kerajaan. Sebagai ungkapan gegembiraan dalam acara tahunan kerajaan digelar pesta dan menampilkan berbagai atraksi antara lain atraksi “Baksa” diselingi demonstrasi latih tanding keterampilan beladiri pada ksatria. Pada acara itu Prabu Borosngora diberi kesempatan pertama bersama kakaksnya Prabu Lembu Sampulur II maju ke gelanggang latih tanding.

Dengan disaksikan para keluarga, kerabat keraton dan tamu undangan yang hadir, dua ksatria kakak beradik itu menampilkan teknik-teknik bela diri “tingkat tinggi” yang memukai. Sorak sorai dan tepuk tangan yang meriah. Rasa gembira kerabat keraton terhenti, ketika pada suatu gerakan tertentu Prabu Borosngora menarik kainnya yang dipakai terlihat pada betis kaki kiranya suatus rajah (tato) sebagai tanda (cap) perguruan kesaktian (kawedukan dan kedugalan) dari Ujung Kulon Banten Selatan.

Setelah acara selesi diantara kerabat keraton mengadukan kejadian ini kepada raja (Prabu Cakradewa). Segera prabu Cakradewa memanggil Prabu Borosngora untuk meminta penjelasan tentang kebenaran laporan. Pengaduan itu dihadapan ayahnya. Prabu Borosngora mengaku adanya rajah (tato) itu serta segera menyadari kealapaannya. Selanjutnya ia mengutarakan maksud pemilikan ilmu itu tak lain hanya untuk kepentingan bela negara.

Dengan arif bijaksana Prabu Cakradewa memaklumi apa yang diutarakan putranya itu Prabu Borosngora namun segera beliau jelaskan bahwa memiliki ilmu dan kesaktian lahiriah (kedugalan, kawedukan) apapun jenis, sifat dan tujuannya adalah terlarang bagi warga Panjalu. Karena bertentangan dengan ajaran (Papagon) Karahayuan.

Dijelaskan pula bahwa ilmu yang harus dimiliki adalah ilmu sempurna yang hakiki (sejati) yang hanya memiliki pemahaman dan pengalaman. Ilmu itulah kesejahteran hakiki yang abadi dapat tercapai dan ilmu itu pula yang bermanfaat bagi diri sendiri dan generasi umat mendatang. Prabu Cakradewa selanjutya memerintahkan Prabu Borosngora untuk kembali berangkat dan mencari ilmu yang dimaksud hingga tercapai, dimanapun ilmu itu.

Keberadaan Prabu Cakradewa bahwa ilmu tersebut itu ada, dan putranya bisa mencarinya. Menyusul perintah itu Prabu Cakradewa memberikan Gatung Bungbas (Gayung Kerancang/Gayung Lobang-Lobang pada alasnya) kepada Prabu Borosngora dengan perintah bahwa ia (Prabu Borosngora) tidak boleh pulang selagi belum mampu membawa air secara penuh pada gayung bungbas tersebut.

Demikian perintah itu mengandung arti mencari ilmu dengan kriteria keberhasilannya diukur oleh kemampuan membawa air pada gayung yang berlubang-lubang disekelilingnya secara penuh tanpa tercecer setetespun.

Perintah itu disampaikan Prabu Cakradewa dengan penuh rasa kasih sayang, harapan dan keyakinan akan keberhasilannya. Dengan membawa Gayung Bungbas disertai restu ayahnya maka berangkatlah Prabu Borosngora kembali menjelajah tatar Pulau Jawa, mendatangi para resi dan pendeta sakti sebagai perguruan termasyhur, namun tak satupun diantara mereka yang mampu memberi ilmu sebagaimana yang diamanatkan ayahnya, bahkan ilmu-ilmu yang mereka miliki ternyata dibawah kemampuan Prabu Borosngora sendiri.

Beliau berpandagan bahwa pada orang yang mampu mengalahkannya saja ia akan berguru serta memperoleh keterangan tentang ilmu sejati yang ingin dipelajarinya situ, percobaan mengambil air dengan Gayung Bungbas itu melalui pergerakan segenap kesaktiannya tidak pernah berhasil, air tercecer mengalir deras hingga habis.

Kebuntuan langkah terbayang mengganggu pikiran dan perasaannya, namun keyakinan berhasil sesuai petunjuk ayahnya mendorong semangat dan tekad Prabu Borosngora untuk berjuang mencari dan memiliki ilmu yang dimaksud, kapan dan dimanapun serta dengan konsekuensi apapun yang akan terjadi pada dirinya.

Dari pulau Jawa ia menyebrangi Selat Sunda menuju pulau Sumantra dan melalui jalur hubungan international ia sampai di Asia Barat serta selanjutnyas ia terdampar di Padang Arafah, Saudi Arabia. Menghindari sengatan terik matahari ia berlindung pada suatu cekungan batu besar. Sambil beristirahat ia ia bersemedi memohon kepada Tuhan agar diberi petunjuk dan jalan kemudahan untuk memperoleh ilmu yang diharapkan. Rasa frustasi timbul, namun ia yakin tidak akan mungkin ayahnyas akan mencelakannya hingga semangatnya tumbuh kembali sampai kemudian ia ditegus oleh seorang orang tua berpakaian putih bersih dihiasi rambut dan janggut yang putih bersih pula.

Pandangan orang tua itu terpancar penuh rasa kasih sayang, dengan tongkat ditangannya yang tertancap ditanah pasir itu, beliau menyapa Prabu Borosngora, dengan serta merta Prabu Borosngora mengutarakan maksudnya mencari orang yang mampu mengalahkan serta mencari petujuk ilmu sejati (hakiki) yang ia ingin memilikinya.

Menanggapi sikap dan pemaparan Prabu Borosngora disambut orang tua itu dengan anggukan dan senyuman kasih sayang. Dan segera beliau mengajak Prabu Borosngora menuju tempat tinggalnya. Baru beberapa langkah beliau menghentikan diri dan melihat ke belakang karena tongkat yang dipegangnya tadi ketinggalan tertancap di taah pasir itu, Prabu Borosngora memahami dengan segera mengambil tongkat tersebut dengan sebelah tangan, tetap tak bisa dicabut. Ia merasa heran dan setelah melihat penampilan orang tua itu yang malah tersenyum, sadarlah Prabu Borosngora bahwa ia kini telah diuji kesaktiannya. Prabu Borosngora kemudian mengerahkan segenap kemampuannya mencabut tongkat itu sehingga keluar butir-butir darah (Radiallahu Anhu), kalifah ke IV setelah Nabi Muhammad SAW Prabu Borosngora mengutarakan maksud kedatangannya akan kisah perjalanannya ke jazirah Arab ini.

Baginda Ali ra memahami apa yang diutarakan Prabu Borosngora dan menjelaskan bahwa ilmu sejati yang dimaksud adalah ilmu-ilmu ajaran Islam. Sejak itulah Prabu Borosngora memeluk agama Islam dan mempelajari ilmu-ilmu ajaran Islam. Ia bermukim di Makkah Al Mukarromah atas petunjuk Sayidina Ali ra.

Sementera Panjalu, Prabu Sanghyang Cakradewa merasa resah berhubung kepergian Prabu Borosngora telah begitu lama belum juga kembali. Beberapa ksatria Karaton termasuk adik kandungnya Sanghyang Panji Barani diperintahkan untuk mencari tahu keberadaan Prabu Borosngora. Mereka berpencaran keseluruh pelosok tata Pulau Sunda, namun tak ditemukan petunjuk keberadaannya meskipun demikian Sanghyang Cakradewa yakin bahwa Prabu Borosngora masih hidup dan akan kembali ke Panjalu.

Keinginan Prabu Sanghyang Cakradewa untuk turun dari tahta dan pergi bertapa, tak dapat menunggu kedatangan Prabu Borosngora. Beliau pergi bertapa membangun tempat pertapaan di Cipanjalu sekitar 4 km. arah utara Kota Panjalu sekarang. Tahta kerajaan untuk sementara diserahkan kepada Prabu Sampulur II.

Di Makkah setelah dipandang cukup menekuni ajaran dan ilmu-ilmu keislaman, Prabu Borosngora bermaksud pulang ke Panjalu niatnya ini disampaikan kepada Baginda Ali Ra yang kemudian Ciss dan pakaian kehajian pemberia Syadina Ali ra.

Kedatangan Prabu Borosngora dengan ilmu ajara Keislaman yang diperolehnya disambut gembira dan perasaan bangga oleh Prabu Cakradewayang kemudian memerintahkan untuk segera meletakkan dasar-dasar ajaran Keislaman sebagai pedoman hidup dan falsafah kerajaan. Perintah itu diwujukan dengan pengangkatan Prabu Borosngora sebagai raja Soko Galuh Panjalu, disertai kelengkapan tugasnya memindahkan Ibu Kota Kerajaan dari Dayeuh Luhur ke Areal Situ Lengkong Panjalu. Sebagaimana terungkap pada Titah Sanghyang Cakradewa.

Demikian sejak itu Prabu Borosngora sebagai raja Soko Galuh Panjalu, sedang Prabu Lembu Sampulur II diserahi tugas memegang kekuasaan di Gununga Tampomas, Sumedang hingga kemudian menurunkan raja-raja Sumedang sebelum keruntuhan Pajajaran menyetujui. Beliau memberi nama kehajian kepada Prabu Borosngora yakni H. Abdul Imam lengkap dengan seperangkat pakaian kehajian

Petunjuk yang diberikan Bagianda Ali ra kepada Prabu Borosngora adalah segera pulang ke Panjalu dan ajarkan agama Islam. Sebagai ‘tanda mata” Baginda Ali ra memberikan barang perkakas berupa pedang dan ciss (tombak bermata dua) kepada Prabu borosngora sebagai kelengkapan tugas dan perjuangannya menyebarkan agama Islam.

Selanjutnya Baginda Ali ra menyuruh Prabu Borosngora untuk mengambil air zam-zam dengan hayung bungbas yang dibawanya ternyata atas izin Allah SWT. Air zam-zam dengan gayung itu. atas petunjuk dan nasihat Baginda Syayidina Ali ra berangkatlah Prabu Borosngora ke Panjalu.
Setibanya di Panjalu ternyata ayahnya Sang Cakradewa telah meninggalkan kerajaan di Dayeuh Luhur dan bertapa di Panjalu. Atas petunjuk dan saran Prabu Lembu Sampulur II Prabu Borosngora kemudian berangkat menemui ayahnya di petapaan Cipanjalu, dengan membawa Gayung Bungbas yang penuh berisi air zam-zam, Pedang Areal Legok Pasir Jambu hingga menjadi Situ (danau) serta mencurahkan air zam-zam menyata dengan air danau tersebut. Tanah yang terbendung berwujud Nusa (Pulau kecil) ditengah danau.
Terdapat tiga buah Nusa pada areal Situ Lengkong yang masing-masing berfungsi sebagai bangunan keraton (Nusa Gede), lokasi Kepatihan dan Paseban Kraton (Nusa Hujung), dan taman buah-buahan di Nusa Pakel. Dari keraton kepatihan dibangun jembatan penghubung yang terbuat dari balok-balok kayu yang dinamakan Cukang Padung.

b. Panjalu Zaman Pengaruh Islam
Keberhasilan Sanghyang Prabu Borosngora membawa air zam-zam dalam Gayung kerancang (bolong/berlubang-lubang) secara penuh tanpa tercecer keluar, merupakan ukura keberhasilan Beliau menimba ilmu sebagaimana yang disyaratkan ayahnya. Ilmu yang membawa keberhasilan itu adalah Ajaran Agama Islam.

Ajaran Islam yang diperoleh adalah langsung dari tanah suci Makkah Al Mukarrimah, tidak melalui Iran, India atau Gujarat atau daerah kultur lain sebagai perantara. Pedang yang ia peroleh dari Baginda Ali ra bertuliskan : La Pabasirta Ali Ya Ali Alladufiqor Wa Ali wasohbihi Azmain, La Syaefi Illa Dulfiqor, La Falla Illa Aliya Karomallahu Wajnahu.

(ini adalah Pedang milik Syayidina Ali Karomallahu Wajnahu)
Diangkatnya sebagai raja Soko Galuh Panjalu, dan sekaligus sebagai raja Islam pertama di kerajaan itu oleh ayahnya Prabu Sanghyang Cakradewa disertai perintah memindahkan Ibu Kota Kerajaan dari daerah Luhur Legok Pasir Jambu (Situ Lengkong) Panjalu merupakan babak baru peri kehidupan warga masyarakat Panjalu. Ajaran Agama Islam menjadi pedoman tingkah laku segenap aspek kehidupan, sejak Prabu Borosngora menetapkan Ajaran Islam sebagai pedoman dan Papagon Kerajaan.

Syi’ar Islam dilakukan secara damai (Fentration fasifique) dalam berbagai cara dari atas (keraton) ke bawah (warga masyarakat) baik melalui dakwah pendidikan dan pengajaran (perguruan, padepokan) maupun melalui struktur birokrasi serta langkah yang terakhir ini lebih efektif, karena disamping ajaran Karahayuan mengandung dasar-dasar filosofis yang bersesuaian dengan ajaran Islam, kesederhanaan konsep-konsep ajaran Islam yang terintegrasikan dalam praktek kehidupan merupakan petunjuk yang gampang dicerna warga (tidak rumit) fleksibel dengan keunggulan-keunggulan tertentu yang dapat dialami langsung oleh warga.

Melalui jalur birokrasi pemerintahan, dibangun lembaga-lembaga yang dalam struktur dan fungsinya berlandaskan ajaran Islam. Raja tidak diberdayakan sebagai manusia yang istimewa, figur yang otoriter, penguasa tunggal pemegang tahta dari langit, melainkan manusia biasa yang sederhana zat yang memiliki hak dan kewajiban tertentu karena kemampuannya yang lebih dari yang lain.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan musyawarah disamping sebagai Raja, beliau juga sebagai ulama yang memiliki kekayaan ilmu dengan kredibilitas tinggi di mata masyarakat Panjalu.
Untuk kepentingan Syi’ar Islam dan tatanan Struktural Pemerintahan, didampingi oleh dua Kampuh, juga sebagai Ulama Kerajaan dan Bhumi Sakti dan (Kyai Jagabaya Dwisakti) segala hal yang berhubungan dengan keputusan-keputusan kerajaan diserahkan berdasarkan kesepakatan-kesepakatan musyawarah (Babad Panjalu 1905)

Prabu Borosngora termasuk raja yang sangat menghargai jasa dan perjuangan pendahulunya, maka kreativitas dalam menteladani perjuangan leluhurnya itu. Pedang dan Ciss pemberian Baginda Ali ra dimaknai sebagai simbol-simbol perjuangan, bukan hanya perjuangan untuk mendapatkan ajaran agama Islam berikut bendas-benda itu sebagai tanda mata, melainkan pula pemakaian Pedang dan Ciss sebagai alat syi’ar islam, ditambah dengan Genta (Lonceng kecil) yang bermakna musyawarah, 3(tiga) barang tersebut dimaknai sebagai benda Pusaka Panjalu (Babad Panjalu, 1905)

Ajaran Karahayuan (Kepanjaluan) yang diajarkan leluhur Raja-raja Panjalu, digunakan oleh Prabu Borosngora sebagai jaringan syi’ar Islam hingga kemudian mewujukan Papagon-Papagon baru yang berlandaskan nilai-nilai kehidupan Islam, seperti:

a. “Mangan karana halal, pake karana suci, ucap lampah sabenere” (makan makanan yang halal, kepribadian yang berperilaku berdasarkan hati yang bersih/suci, perkataan dan perbuatan harus yang benar)
b. Uriwah (Gorejat, kreatit, semangat tinggi)
Uriyah (bodo katotoloyo, pinter kabalenger)
Matanya (kaum adma : laki-laki)
Baganya (Kaum hawa /wanita)

Artinya : perilaku harus kreatif, inovatif dengan semangat kerja tinggi jangan bodoh, dan kebelinger: antara laki-laki dan perempuan harus saling menghargai, saling asah asih serta saling tolong menolong.

Sesuai dengan petunjuk Baginda Ali ra serta wejangan ayahnya yang berhubungan dengan kewajiban Syi’ar yang integral menyeluruh bagi setiap umat. Prabu Borosngora berniat turun tahta karena panggilan syiar Islam tersebut diatas. Beliau merencanaka pergi ke jampang Sukabumi dan ke wilayah-wilayah lainnya di tatar Sunda.

Berdasarkan kesepakatan musyawarah para tokoh terkemuka kerajaan, beliau menyerahkan tahta kerajaan kepada anak sulungnya Prabu Hariang Kuning, sedang adik Prabu Hariang Kuning yang bernama Prabu Hariang Kencana ikut menyertai beliau ke Jampang Sukabumi.

Dalam acara serah terima kerajaan ini beliau memberikan pesan kepada warga Panjalu, terutama kepada pemegang tahta kerajaan mengenai pengamalan dari papagon-papagon yang telah disampaikannya itu. khusus mengenai benda-benda Pusaka Panjalu (Pedang, Ciss dan Genta/lonceng kecil) diamankan untuk dilestarikan maknanya, disimpan dan dirawat agar dapat diketahui oleh generasi mendatang, wujunya mengenai benda pusaka itu beliay berpesan :

a. Siapa saja anak cucu aku ingin ziarah kepadaku nanti, tak perlu mencari makam aku, tapi cukup menyaksikan benda pusaka ini. bukan aku menjelma pada benda ini, tetapi pikirkan benda pusaka itu tanda hasil perjuanganku mencari ilmu dan menyebarkan agama Islam.
b. Siapa saja anak cucu keturunanku nanti, hidup dan kehidupannya mengingkari papagon, maka ia tak akan selamat.

Demikian Prabu Borosngora akhirnya berangkat ke Jampang Manggung Sukabumi untuk memenuhi tugas syiar islam. Di tempat itu beliau dikenal sebagai Sanghyang Jampang Manggung. Dari Jampang Manggung beliau melanjutkan perjalanannya ke daerah Banten dan membuka perguruan di Pamarayan (Gebang) sehingga ia dikenal sebagai Sanghyang Pamarayan atau Syeh Pamarayan.

Di Banten dalam wiridz tersebut berturut-turut disebutkan Rasulullah Muhammad SAW, Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khatab, Usman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib, Hasan Hussen, Syeh Panjalu, Syeh Abdul Qodir Jaelani dan sebagainya.

Prabu Borosngora juga datang ke daerah pantai Utara Jawa Barat, di wilayah Purwakarta dan Karawang Beliau dikenal dengan nama : Syeh Abdul Imam. Sepeninggal Prabu Borosngora Kerajaan Soko Galuh Panjalu berada dalam keadaan sugih mukti, makmur sejahtera sampai dengan terjadinya kesalahpahaman antara Prabu Hariang Kuning sebagai Raja Panjalu dengan adik kandungnya Prabu Hariang Kencana yang datang ke Panjalu atas undangan raja mewakili ayahnya (Prabu Borosngora) di Jampang Sukabumi. Pertentangan kakak beradik ini dapat dilerai atas prakarsa Ulama Karismatik Kampuh Jaya atau yang kemudian dikenal sebagai Guru Aji tangan kanan Prabu Borosngora. Akibat peristiwa itu Prabu Hariangkuning turun tahta, digantikan oleh Prabu Hariangkencana.

Dibawah pemerintahan Prabu Hariang Kencana kerajaan mengalami masa keemasan. Di didampingi 2 penasihat kerajaan, yakni Guru Aji Kampuh Jaya, dan Bhumi Sakti. Dua penasihat itu berperan memberi penyeimbangan menyeluruh dalam setiap kebijakan-kebijakan kerajaan.
Guru Aji Kampuh Jaya adalah seorang ulama terkemuka yang membantu Prabu Borosngora dalam kegiatan Syi’ar islam di Jampang Sukabumi, semula ia ditugaskan untuk melerai pertikaian antara Prabu Hariangkuning dan adiknya Prabu Hariangkencana serta memberi pertimbangan hukum untuk menentukan siapa yang bersalah untuk selanjutnya diberi wewenang memberi langkah tindakan seperlunya dengan suatu ketentuan yang bersalah harap dibawa serta dihadapkan kepada Prabu Borosngora di Jampang untuk diberi hukuman yang setimpal. Dan bila Prabu Hariang Kuning yang bersalah maka di dinyatakan tidak layak memegang tahta kerajaan.

Dalam pertikaian itu tak ada siapapun yang berani melerai termasuk senopati dan patih kerajaan yang bernama Bhumi Sakti, namun tatkala Kampuh Jaya hadir karena pertikaians itu, serentak pertikaian terhenti dua putra Prabu itu bersimpuh menyesali dan menyadari segala kehilapannya, serta keduanya bersedia menerima hukuman. Pertimbangan hukum dilakukan untuk mengambil putusan terhadap mereka yang keduanya mengaku bersalah itu.

Dari sejumlah buku yang ada, akhirnya diputuskan Prabu Hariang Kuning yang bersalah, keputusan ini diterima semua pihak termasuk oleh Prabu Hariang Kuning yang dengan tulus hati ia mengundurkan diri dari tahta kerajaan digantikan Prabu Hariang Kencana, seorang putra mahkota yang berbakat, berbudi pekerti luhur memiliki dedikasi tinggi terhadap kesejahteraan warga masyarakat. Lebih dari seratur tahun Prabu Hariang Kencana memegang tahta kerajaan, setelah meninggal ia dimakamkan dipelataran Kraton Nusa Gede Situ Lengkong.

Penggantis Prabu Hariang Kencana adalah putranya yang bernama Prabu Hariang Kuluk Kunang Teko yang telah meninggal dimakamkan di Cilanglung Simpar Panjalu. Berturut-turut raja Panjalu yang memegang tahta adalah Prabu Hariang Kadali Kancana, Prabu Hariang Teko Kada Cayut Martabaya, dan terakhir adalah Prabu Hariang Kunang Natanabaya. Pada sekitar tahun 1.200 pemerintahan Kerajaan Panjalu berakhir. Setelah itu kerajaan Panjalu berubah status sebagai pemeritahan Kabupaten dibawah Kesultanan Cirebon.

Prabu Hariang Kuning Natabaya memiliki 3 orang putra yakni : Sembah Dalem Sumalah, Sembah Dalem Aria Sacanata aliar Genda Kerta aliar Aria Salingsingan dan Sembah Dalem Dipanata. Berturut-turut sebagai Dipati Panjalu adalah Sembah Dalem Sumalah, Sembah Dalem Aria Sacanata Gandakerta (Aria Salingsingan), Dalem Wirabaya (Putra Dalem Sumalas), Dalem Wiradipa (Putra Aria Sacanata), Dalem Cakranagara I (Putra Dalem Wirdipa, cucu Aria Sacanata), Dalem Cakranagara II, dan terakhir Dalem Cakranagara III.

Dalem Cakranagara III lahir tahun 1765 diangkat jadi Bupati Panjalu tahun 1789, selanjutnya berhenti jadi Bupati tahun 1819 setelah itu Panjalu berubah status jadi Distrik (Kewedanaan) di wilayah Kabupaten Ciamis.

Dalam Cakranagara III berputra 12 (dua belas) orang, salah satu diantara putra bungsunya bernama Denam Prajadinata. Dia adalah pemilik Situ Lengkong terakhir. Sebelum berangkat ke Mekkah dalam rangka menunaikan ibadah haji ia menzairahkan Situ Lengkong sebagai barang Hakulah, air dan ikannya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat warga Panjalu dan keturunannya sebagai kuncen (pemegang kunci pengelola) ditunjuk pemerintah desa Panjalu. Demang Prajadinata sendiri meninggal di Mekkah pada tahun 1908. Situ Lengkong kini merupakan salah satu Situs Peninggalan Sejarah Panjalu, dimana Ibu kota Kerajaan Soko Galuh Panjalu masa lalu dibangun oleh pendirinya tokoh karismatik Raja Islam pertama yaitu Prabu Sanghyang Borosngora. Bukti sejarah dari perjuangan beliau dalam mencari, menyerap dan mengamalkan ajaran agama islam adalah barang miliknya berupa benda

Sejarah Singkat Objek Wisata Panjalu Ciamis Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Hika

1 komentar:

  1. Muhyi Fadlil, PKBM Nuju Pinter Cilongok Purwokerto
    SAYA BARU BERKUNJUNG KE PANJALU, kalau tidak salah untuk keempat kalinya. Sekali bersama keluarga SMK Ma'arif dan 3 kali bersama keluarga SMP Ma'arif NU 1 Cilongok. Saya dapatkan Buku "SEJARAH PANJALU" tulisan R. Haris R. Cakradinata, SE.
    Sebagian isinya sebagaimana tertulis di atas. Ditambah gambar dan beberapa naskah, namun sayang cetakannya kurang bagus. Menurut saya, masih diperlukan banyak data dukung untuk menjadi buku sejarah yang lebih lengkap. Kata teman saya, di kalangan generasi muda NU juga pernah didiskusikan tentang Panjalu. Semoga terus ada pencerahan dan banyak ahli sejarah muslim yang tertarik mengkajinya. Sebuah kekayaan sangat berharga untuk Islam Nusantara.

    BalasHapus